Kalah Judi Aku Jadi Ingin Mati

Family / 11 August 2009

Kalangan Sendiri

Kalah Judi Aku Jadi Ingin Mati

Puji Astuti Official Writer
15330

Baginya lebih baik tidak makan dari pada tidak main judi. Judi sudah menjadi bagian dari kehidupan Petrus Edi Widjaya, bahkan lebih penting daripada kehidupan keluarganya sendiri.

"Saat itu, saya lebih baik ngga makan dari pada ngga judi. Judi itu sudah menjadi bagian hidup saya. Jadi kalau tidak berjudi itu seperti ada yang kurang. Judi yang saya lakukan bukan hanya main kartu. Segala permainan yang bisa dijudikan, saya judikan. Waktu itu karena judi sana-sini dilarang, akhirnya saya sama teman-teman duduk di pinggir jalan raya, kita hitung bajaj yang lewat dalam lima menit ada berapa. Hitung ganjil genap, jadi contohnya 7 yang lewat dalam lima menit, yang kalah harus bayar. Saya bisa habis jutaan dengan judi seperti itu," demikian tutur Edi sambil tertawa.

Tidak berhenti disitu, obsesi Edi untuk bisa cepat kaya dengan judi membuatnya berani menipu orang-orang ketika berjudi.

"Saya mulai akal-akalan, ngerjain orang main judi di billiard. Kalau saya liat orang yang ngga begitu bisa main, saya tawarin, ‘Pak, ayo main sama saya pak..' Dan sewaktu main saya pura-pura tidak begitu bisa main. Pukulan pura-pura salah sini, salah sana. Akhirnya bapak itu tergoda juga, dan masuk dalam perangkap saya, sehingga akhirnya mau taruhan. Saya permainkan terus, saya buat angkanya seolah-olah orang itu kalahnya, kalah tipis. Saya buat orang itu penasaran, sehingga saya bisa mendapatkan uang yang banyak dari judi billiard. Hal itu seringkali saya lakukan."

Uang adalah motivasi yang membutakan mata Edi sehingga dia berani melakukan segala cara demi mencapai kemenangan dalam berjudi.

"Ketika saya main judi, ketika saya menang, dan saya memiliki banyak uang, sehingga dengan uang itu saya gampang sekali memerintah orang. Dengan uang saya menjadi lebih kuat dari orang lain. Karena saat itu saya berpikir semua orang bisa dibeli dengan uang. Jadi saya mau apa aja menjadi gampang, jika saya punya uang."

Obsesi Edi terhadap uang dan kekuasaan bersumber dari kepedihan yang dirasakanya sewaktu dia masih kanak-kanak. Konflik dalam keluarga besarnya, teriakan, hinaan dan cibiran dari lingkungan telah membentuknya menjadi seseorang yang menginginkan kekayaan secara instant dan mudah.

"Jadi didalam rumah dengan ukuran 10 X 20 dihuni oleh lima kepala keluarga. Sehingga setiap pagi, siang, sore bahkan malam selalu terdengar orang berteriak-teriak, dan mencaci maki. Siapapun bisa mencaci maki. Lingkungan tetangga-tetangga saya semuanya tahu, kalau di keluarga saya itu semuanya adalah orang yang sering bikin keributan, dan mereka sering mentertawakan, hal itu membuat saya semakin tertekan. Karena saya masih SMP dan tidak bisa berbuat banyak membuat saya hanya bisa nyimpen, nyimpen, dan nyimpen saja."

Bukan hanya rasa malu atas keluarganya yang membuat Edi merasa tertekan, tapi juga kata-kata yang sering dilontarkan kepadanya.

"Mereka sering mengatakan kalau saya itu orang susah, orang miskin, orang yang tidak punya pengharapan, orang yang sudah terbuang. Bahkan saudara-saudara bapak saya yang diluar pun kalau datang ke tempat saya cuek-cuekan. Ngga pernah mau negur. Dan dimata mereka saya itu orang yang sudah tidak punya pengharapan, hal itulah yang tertanam dalam hidup saya. Karena hal tersebut saya berkata suatu saat saya akan balas, saya akan membuktikan kalau saya tidak seperti yang mereka katakan."

Keadaan rumah yang kacau membuat Edi tidak betah dirumah dan mencari hiburan diluar rumahnya. Tanpa disadarinya, langkah kakinya membawanya ke dalam dunia perjudian.

"Saya ngga betah dirumah karena saya merasa lingkungan rumah seperti neraka. Jadi setiap pulang sekolah saya keluyuran untuk menghibur hati saya.  Saya pergi ke tempat-tempat main game, tempat orang kumpul-kumpul, main judi, dan mereka ajari saya main judi. Tanpa saya sadari saya terjerumus ke dunia perjudian. Akhirnya saya belajar mencuri uang orangtua saya, saya ambil yang ada di laci. Papa saya punya toko sepeda, saya jual barang-barangnya dengan murah untuk main judi. Awal-awalnya ngga ketahuan, tapi lama-lama ketahuan, saya dipukul habis, bahkan saya sempat di usir."

Kemarahan orangtuanya tidak bisa menghentikan kebiasaan Edi untuk bermain judi, bahkan kebiasaannya ini dibawanya terus hingga Edi masuk kedalam pernikahan.

"Saya seringkali rebut hanya karena masalah anak. Masalah kecil jadi besar. Akhirnya saya pergi judi, dari pada saya pulang kerumah, saya rebut, saling tidak bicara, saling diam-diaman. Saya merasa tidak ada damai dan sukacita. Padahal saya merasa sudah mencari uang dari pagi sampai sore, dan karena masalah kecil, masalah anak jadi rebut, ya udah.. saya pergi saja.."

Judi dijadikan Edi sebagai pelarian atas masalah rumah tangganya. Semua tindakan Edi membuat istrinya sangat terluka, dan dia membalas perbuatan sang suami dengan melampiaskan kemarahannya kepada anaknya bahkan juga bersikap buruk terhadap pada mertuanya.

"Karena dia ngga bisa melampiaskan kemarahannya kepada saya, dia melampiaskannya pada anak saya.  Anak saya suka dipukul, suka diperlakukan tidak baik. Sementara saya sayang pada anak saya, saya ngga bisa lihat anak saya dimarahin jadi saya marahin lagi istri saya. Jadi saya sakiti dia, dan dia sakiti saya, dalam bentuk prilaku, dalam bentuk perbuatan."

Edi tidak pernah menyadari bahwa apa yang dilakukannya telah membuat hati istrinya terluka sangat dalam.

"Saya ngga bisa melayani dia dengan baik, karena setiap kali berhubungan suami istri, hati saya merasa sangat sakit. Saya selalu mengingat bahwa dia sudah menghabiskan banyak harta, dan dia benar-benar sudah membuat hidup saya sangat susah. Saya benar-benar tidak bahagia, tapi suami saya tidak mengetahui hal itu. Saya pernah melukai tangan saya sendiri, dan darahnya saya oleskan ke tembok, karena saya pikir, jika suami saya melihatnya, suami saya akan takut. Takut kalau saya akan benar-benar akan bunuh diri. Ternyata itu tidak mengubahnya juga," demikian isteri Edi, Acin bercerita sambil meneteskan air mata.

Semua usaha Acin untuk menyadarkan Edi dengan caranya sendiri berakhir sia-sia, bahkan Edi semakin menjadi-jadi dan keluarga itu mengalami keterpurukan.

"Puncaknya sewaktu saya mulai main judi di kasino. Mobil saya gadaiin, saya pinjam uang sama orang-orang sana. Dengan berharap menang uang banyak, tapi malah berakhir uang habis. Kekalahannya ratusan juta. Saking besarnya saya ngga ada jalan. Sudah ngga bisa bayar. Uang didompet tinggal seribu, tagihan sudah waktunya bayar, besok tukang tagih dating. Ketakutan dan kecemasan menjadi satu menekan saya. Hal itu membuat saya ngga kuat, akhirnya saya pikir saya habisin aja nyawa saya lah. Saya bawa mobil, saya mau tancap gas kenceng-kenceng di Gajah Mada, saya ceburin ke tengah-tengah kali, pasti begitu mobil saya masuk kekali dengan kaca tertutup, saya akan mati kehabisan nafas. Tapi baru sampai di Sawah Besar mau belok ke Gajah Mada tiba-tiba saya mendengar suara, ‘kamu pergi ke gereja... kamu pergi ke gereja..' Saya sampai kaget, saya lihat ke belakang, kok ada suara, ‘kamu pergi ke gereja..' saya kan pergi sendiri. Tapi saya ngga keraskan hati, saya kasih tahu istri saya kalau saya mau ke gereja."

Saat itu juga, Edi menelepon istrinya.

"Dia telepon saya, tapi dia tidak bilang tahu kalau dia coba mau bunuh diri. Dia bilang, ‘Mami, mulai hari minggu saya mau pergi kegereja.' Saya benar-benar terkejut waktu itu, karena saya tidak pernah menyangka. Saya seperti mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, hingga saya menangis dan terharu," demikian Acin menceritakan kejadian waktu itu.

Mulai saat itu Edi dan istrinya mulai kegereja dan belajar kebenaran firman Tuhan. Edi mulai berkomitmen untuk berhenti berjudi, dan dengan kuasa Tuhan, dia dimampukan berhenti total berjudi. Doa sepakat dengan istrinya bahkan membukakan pintu-pintu untuknya bisa membayar hutang-hutangnya.

"Dan puji Tuhan, sampai saat ini saya masih dipercayakan oleh Tuhan Yesus untuk membuka usaha showroom mobil. Dan saya diberkati, diberikan anugrah empat orang anak, putra-putri yang begitu luar biasa cerdas, cantik, ganteng dan sehat. Juga Tuhan memberikan seorang istri yang begitu setia, yang selalu mendampingi saya, dan selalu mendoakan saya, dikala saya sulit, dikala saya sedih, saya percaya semua ini karena kebaikan Tuhan Yesus yang tinggal didalam keluarga saya."

Petrus Edi Widjaya dan keluarganya sudah membuktikan bahwa judi tidak memberikan damai sejatera, kebahagiaan dan sukacita yang didambakan, hanya Yesuslah satu-satunya jalan untuk mendapatkan semua itu. (Kisah ini ditayangkan 11 Agustus 2009 dalam acara Solusi life di O'Channel)

Sumber Kesaksian:
Petrus Edi Widjaya
Sumber : V090505142835
Halaman :
1

Ikuti Kami